Biografi KH Muhammad Hasyim Asy’ari di bawah ini meliputi beberapa topik pembahasan, yaitu kelahiran, pernikahan, pendidikan, juga peran dalam proses berdirinya organisasi NU. Juga pergulatan pemikiran tentang pembaharuan Islam dan dinamika Madzhab.
Hal
terkait dan merupakan uraian yang saling berhubungan dengan Biografi singkat KH
Muhammad Hasyim Asy’ari meliputi peran zaman penjajahan Belanda dan Jepang,
Masa Kemerdekaan dan Fatwa Resolusi Jihad 1945.
Kelahiran
KH
Muhammad Hasyim Asy’ari beliau dilahirkan pada tanggal 14 Februari 1871 M atau
menurut penanggalan arab pada tanggal 24 Dzulqaidah 1287H di Dusun Gedang, Desa
Tambakrejo, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur dan beliau kemudian
tutup usia pada tanggal 25 Juli 1947 yang kemudian dikebumikan di Tebuireng,
Jombang.
KH
Muhammad Hasyim Asy’ari merupakan putra dari pasangan Kiai Asy’ari dan Halimah,
Ayahnya Kiai Asy’ari merupakan seorang pemimpin Pesantren Keras yang berada di
sebelah selatan Jombang. Beliau merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara.
Hasyim
Asy’ari memiliki nama lengkap Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid bin
Abdul Halim atau yang populer dengan nama Pangeran Benawa bin Abdul Rahman yang
juga dikenal dengan julukan Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) bin Abdullah bin
Abdul Aziz bin Abdul Fatah bin Maulana Ishaq bin Ainul Yakin yang populer
dengan sebutan Sunan Giri. Sementara dari jalur ibu adalah Muhammad Hasyim
binti Halimah binti Layyinah binti Sihah bin Abdul Jabbar bin Ahmad bin
Pangeran Sambo bin Pangeran Benawa bin Jaka Tingkir atau juga dikenal dengan
nama Mas Karebet bin Lembu Peteng (Prabu Brawijaya VI). Penyebutan pertama
menunjuk pada silsilah keturunan dari jalur bapak, sedangkan yang kedua dari
jalur ibu.
Santri
Pondok Pesantren
Sejak
anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan KH Hasyim Asy’ari memang sudah
nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam
usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih
besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya,
berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain.
Mula-mula
ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke
Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum
puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren
Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan Syaikhona KH Muhammad Kholil
KH
Hasyim Asy’ari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kiai Utsman
yang juga pemimpin Pesantren Gedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau
berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di
Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang,
Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo. Tak lama
di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo.
Di
pesantren yang diasuh Kiai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar
menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kiai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang
berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama –lima tahun– Hasyim
menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kiai Ya’qub sendiri kesengsem
berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu.
Kiai
Hasyim Asy’ari Menikah
Maka,
Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21
tahun, dinikahkan dengan Nafisah, salah satu puteri Kiai Ya’qub (Siwalan Panji,
Sidoarjo). Tidak lama setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke
Makkah guna menunaikan ibadah haji.
Dilansir
Tebuireng Online, tujuh bulan kemudian, Nafisah meninggal dunia setelah
melahirkan seorang putra bernama Abdullah. Empat puluh hari kemudian, Abdullah
menyusul ibu ke alam baka. Kematian dua orang yang sangat dicintainya itu,
membuat Kiai Hasyim sangat terpukul. Kiai Hasyim akhirnya memutuskan tidak
berlama-lama di Tanah Suci dan kembali ke Indonesia setahun kemudian. Tujuh
bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya
meninggal.
Setelah
lama menduda, Kiai Hasyim menikah lagi dengan seorang gadis anak Kiai Romli
dari desa Karangkates (Kediri) bernama Khadijah. Pernikahannya dilakukan
sekembalinya dari Makkah pada tahun 1899 M/1325 H. Pernikahannya dengan istri
kedua juga tidak bertahan lama, karena dua tahun kemudian (1901), Khadijah
meninggal.
Untuk
ketiga kalinya, Kiai Hasyim menikah lagi dengan perempuan nama Nafiqah, anak
Kiai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dan mendapatkan sepuluh orang
anak, yaitu: Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hakim, Abdul
Karim, Ubaidillah, Mashurah, dan Muhammad Yusuf. Perkawinan Kiai Hasyim dengan
Nafiqah juga berhenti di tengah jalan, karena Nafiqah meninggal dunia pada
tahun 1920 M.
Sepeninggal
Nafiqah, Kiai Hasyim memutuskan menikah lagi dengan Masrurah, putri Kiai Hasan
yang juga pengasuh Pesantren Kapurejo, pagu (Kediri). Dari hasil perkawinan
keempatnya ini, Kiai Hasyim memiliki empat orang anak: Abdul Qadir, Fatimah,
Khadijah dan Muhammad Ya’qub. Perkawinan dengan Masrurah ini merupakan
perkawinan terakhir bagi Kiai Hasyim hingga akhir hayatnya.
Menetap
di Makkah
Tahun
1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Makkah selama
7 tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudh At
Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani,
Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin
Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi..
Tahun
1899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya,
KiaiUsman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng. Kiai Hasyim
bukan saja Kiai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang
sukses. Tanahnya puluhan hektar.
Dua
hari dalam seminggu, biasanya Kiai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah
ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi
dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kiai Hasyim
menghidupi keluarga dan pesantrennya.
Tahun
1899, KH Muhammad Hasyim Asy’ari membeli sebidang tanah dari seorang dalang di
Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir,
pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah
timur Desa Keras, kurang lebih 1 km.
Di
sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak)
sebagai tempat tinggal. Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng
dimulai. Kiai Hasyim mengajar dan shalat berjamaah di tratak bagian depan,
sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya
berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.
Setelah
dua tahun membangun Tebuireng, Kiai Hasyim kembali harus kehilangan istri
tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka sudah menampakkan hasil
yang menggembirakan. Kiai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh,
putri Kiai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun.
Dari
pernikahan ini Kiai Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2)
Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul
Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf.
Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kiai Hasyim menikah
kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren
Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kiai Hasyim dikarunia 4 orang
putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad
Ya’kub.
Dialog
Mbah Hasyim dengan Mbah Kholil
Pernah
terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim
Asy’ari dengan KH Mohammad Kholil, gurunya.
“Dulu
saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid
Tuan,” kata Mbah Kholil, begitu Kiai dari Madura ini populer dipanggil. Kiai
Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan
kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya,
seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan,
akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.”
Tanpa
merasa tersanjung, Mbah Kholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan
kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa
kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada
Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kiai Hasyim tidak bisa
berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.
Lucunya,
ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju
tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke
kaki gurunya. Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih
pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi.
Namun
yang ditunjukkan Kiai Hasyim juga Kiai Kholil; adalah kemuliaan akhlak.
Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang
sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita. Mbah
Kholil adalah Kiai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri
NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh
sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini.
Sedangkan
Kiai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus
pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama,
tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, terkenal mumpuni dalam
ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kiai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian
hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot
perhatian ummat Islam.
Maka
tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk
mantan gurunya sendiri, Kiai Kholil. Ribuan santri menimba ilmu kepada KH
Muhammad Hasyim Asy’ari. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara
santri Kiai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan
berpengaruh luas.
KH
Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH R. As’ad Syamsul Arifin, Wahid
Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang
pernah menjadi santri Kiai Hasyim. Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng
merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari
Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng
adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan
Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh
(Tuan Guru Besar) kepada Kiai Hasyim.
KH
Hasyim Asyari, Belanda dan Jepang
Karena
pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kiai Hasyim menjadi perhatian
serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di
antaranya ia pernah mendapat anugerah bintang jasa pada tahun 1937, tapi
ditolaknya. Justru Kiai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan.
Pertama,
ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda
kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di
mana-mana. Kedua, Kiai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal
Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh
Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda)
menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri
kemudian mengurungkan niatnya.
Namun
sempat juga Kiai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan
Jepang menangkap Kiai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan
penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta
ikut dipenjarakan bersama Kiainya itu.
Masa
awal perjuangan Kiai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya
perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak
segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah.
Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif Belanda. Pada tahun
1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di
Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga
tewas.
Peristiwa
ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kiai Hasyim dengan tuduhan
pembunuhan. Dalam pemeriksaan, Kiai Hasyim yang sangat piawai dengan
hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis.
Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum.
Belum
puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan
untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu.
Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab
dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung
hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an. Pada bulan Maret 1942, Pemerintah
Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga
secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara
Jepang.
Pendudukan
Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan
Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan
represi dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin
Muslim.
Salah
satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadlratussyekh beserta
sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kiai Hasyim menolak
melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah
Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar
Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini
juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap
kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang.
Kiai
Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah,
bukan manusia. Akibatnya, Kiai Hasyim ditangkap dan ditahan secara
berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya
ke penjara Bubutan, Surabaya.
Karena
kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadlratussyekh berada di pihak yang benar,
sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kiai Hasyim
mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi
patah tak dapat digerakkan.
Setelah
penahanan Hadlratussyekh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren
Tebuireng vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadlratussyekh
tercerai berai. Isteri Kiai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren
Denanyar, barat Kota Jombang.
Resolusi
Jihad 22 Oktober 1945
Tanggal
18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kiai Hasyim dibebaskan oleh Jepang
karena banyaknya protes dari para Kiai dan santri. Selain itu, pembebasan KH
Muhammad Hasyim Asy’ari juga berkat usaha dari Kiai Wahid Hasyim dan Kiai Wahab
Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan
di Jakarta. Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara
NICA
(Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda
membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke
tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kiai Hasyim
Asy’ari bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan
NICA dan Inggris tersebut.
Resolusi
Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah
perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu.
Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan
membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris.
Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.
Pada
tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di
Surabaya—umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim
Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah
konsolidasi umat Islam dari berbagai paham.
KH
Muhammad Hasyim Asy’ari diangkat sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama periode
tahun 1945-1947. Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kiai Hasyim dikenal
sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar
perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan
Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kiai
Hasyim.
Pembaharuan
Islam
Kemampuannya
dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syaikh Mahfudh At Tarmisi di
Makkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syaikh ternama asal Pacitan, Jawa
Timur itu. Disamping Syaikh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syaikh
Ahmad Khatib Al Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kiai Ahmad
Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru.
Jadi,
antara KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru. Yang
perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di Makkah, Muhammad Abduh sedang
giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana
diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat
Islam selanjutnya.
Sebagaimana
diketahui, saat itu (bahkan hingga kini) dalam dunia Islam terdapat
pertentangan paham, antara paham pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh
dari Mesir dengan paham bermadzhab yang menerima praktek tarekat.
Ide
reformasi Muhammad Abduh antara lain bertujuan memurnikan kembali ajaran Islam
dari pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam. Mereformasi
pendidikan Islam di tingkat universitas, dan mengkaji serta merumuskan kembali
doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern.
Dengan
ini Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas dari pola pemikiran madzhab
dan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Semangat Abduh juga
mempengaruhi masyarakat Indonesia, kebanyakan di kawasan Sumatera atas prakarsa
para mahasiswa yang belajar di Makkah.
Sedangkan
di Jawa dipelopori oleh KH Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah
(berdiri tahun 1912). KH Muhammad Hasyim Asy’ari pada prinsipnya menerima ide
Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi menolak
melepaskan diri dari keterikatan madzhab. Sebab dalam pandangannya, umat Islam
sangat sulit memahami maksud Al-Qur’an atau Hadits tanpa mempelajari
kitab-kitab para ulama madzhab.
Berpegang
pada Madzhab
Pemikiran
yang tegas dari Kiai Hasyim ini memperoleh dukungan para Kiai di seluruh tanah
Jawa dan Madura. Kiai Hasyim yang saat itu menjadi ”kiblat” para Kiai, berhasil
menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’ ini. Pada saat pendirian
organisasi pergerakan kebangsaan membentuk Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI),
Kiai Hasyim dengan putranya Kiai Wahid Hasyim, diangkat sebagai pimpinannya
(periode tahun 1937-1942).
Sebagaimana
telah dikupas Deliar Noer, ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh
yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia
yang sedang belajar di Makkah. Termasuk Hasyim tentu saja.
Ide
reformasi Abduh itu adalah ; pertama mengajak ummat Islam untuk memurnikan
kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebenarnya bukan berasal
dari Islam; Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas; dan
ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan
kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan keempat, mempertahankan Islam.
Usaha
Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan
modern pertama agar supaya Islam dapat memainkan kembali tanggung jawab yang
lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan.
Dengan
alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan diri dari
keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab dan agar ummat Islam
meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Syaikh Ahmad Khatib mendukung
beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa hal.
Beberapa
santri Syaikh Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide
Abduh itu. Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan
Muhammadiyah. Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide
Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh agar
ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab, atau menolak tidak
bermadzhab.
Ia
berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya
dari ajaran-ajaran Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari pendapat-pendapat
para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk menafsirkan Al
Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama mazhab
hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang
sebenarnya, demikian tulis Dhofier.
Dalam
hal tarekat, Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu
itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat
Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat.
Dalam
perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab dari kalangan
pesantren (sering disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak bermazhab
(antara lain Muhammadiyah dan Persis, atau kelompok modernis) itu memang kerap
tidak terelakkan.
Komite
Hijaz
Puncaknya
adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu
dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk di –
bawa ke Konggres Ummat Islam di Makkah. Karena aspirasi golongan tradisional
tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi kebebasan,
terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah sampai para
sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz.
Komite
yang dipelopori KH Abdullah Wahab Chasbullah ini bertugas menyampaikan aspirasi
kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu Kiai Hasyim, Komite
inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang
artinya kebangkitan ulama. Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian
kuat.
Terbukti,
pada 1937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan
perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam
A’la Indonesia) Kiai Hasyim di- minta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin
Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia. Penjajahan
panjang yang mengungkung bangsa Indonesia, menggugah kesadaran kaum terpelajar
untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi.
Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yaitu Gerakan Kebangkitan Nasional.
Kebangkitan
Nasional
Semangat
Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai
organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan, di antaranya Nahdlatul Wathan
(Kebangkitan Tanah Air) tahun 1914, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga
dengan Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran). Dari situ kemudian
didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan
basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.
Dengan
adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi serta
lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa
kota. Tokoh utama di balik pendirian tafwirul afkar adalah, KH Abdul Wahab
Hasbullah (tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid
Hadlratussyekh. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama
terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan,
sosial, dan politik.
Masalah
Salafi-Wahabi
Pada
masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan madzhab
Salafi-Wahabi sebagai madzhab resmi Negara. Ibnu Saud juga berencana
menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak menjadi
tempat ziarah kaum Muslimin, karena bid’ah.
Di
Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan hangat kalangan modernis seperti
Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan
H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang menghormati
keberagaman, menolak dengan alasan itu adalah pembatasan madzhab dan
penghancuran warisan peradaban itu.
Akibatnya,
kalangan pesantren dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al Islam. Juga tidak
dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam
Internasional) di Makkah, yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Dengan
semangat untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian terhadap
pelestarian warisan peradaban. Maka Kiai Hasyim bersama para pengasuh pesantren
lainnya, membuat delegasi yang dengan nama Komite Hijaz. Komite dengan KH Wahab
Hasbullah sebagai ketua ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud
untuk mengurungkan niatnya.
Pada
saat yang hampir bersamaan, datang pula tantangan dari berbagai penjuru dunia
atas rencana Ibnu Saud, sehingga rencana tersebut gagal. Hasilnya, hingga saat
ini umat Islam bebas melaksanakan ibadah di Makkah sesuai dengan madzhab
masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang
berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan
peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Tahun
1924, kelompok diskusi Taswirul Afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan
mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar.
KH
Hasyim Asy’ari Pendiri NU
Hadlratussyekh
KH Hasyim Asy’ari yang dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan
shalat istikharah, menohon petunjuk dari Allah. Sekian lama, petunjuk itu belum
datang juga. Kiai Hasyim sangat gelisah. Dalam hati kecilnya ingin berjumpa dengan
gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan. Sementara nun jauh di Bangkalan
sana, Kiai Khalil telah mengetahui apa yang Kiai Hasyim Asy’ari alami.
Kiai
Kholil lalu mengutus salah satu orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul
Arifin. Kkelak menjadi pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo. As’ad Syamsul
Arifin menyampaikan sebuah tasbih kepada Kiai Hasyim di Tebuireng. Pesan kepada
Pemuda As’ad; agar setiba di Tebuireng membacakan surat Thaha ayat 23 kepada
Kiai Hasyim.
Ketika
Kiai Hasyim menerima kedatangan As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya
langsung bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan
tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata. Waktu terus berjalan, akan
tetapi pendirian organisasi itu belum juga terealisasi.
Agaknya
Kiai Hasyim masih menunggu kemantapan hati. Satu tahun kemudian (1925), pemuda
As’ad kembali datang menemui Hadlratussyekh.
”Kiai,
saya diutus oleh Kiai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini.” ujar pemuda Asad
sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kiai Kholil di lehernya.
Tangan
As’ad belum pernah menyentuh tasbih sersebut, meskipun perjalanan antara
Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela
tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih.
Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah Kiai, maka yang boleh
melepasnya juga harus Kiai”.
Inilah
salah satu sikap ketaatan santri kepada sang guru. ”Kiai Kholil juga meminta
untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad.
Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat hati KH Muhammad Hasyim Asy’ari semakin
mantap.
Hadratussekh
menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya
mendirikan organisai/jam’iyah. Inilah jawaban melalui shalat istikharah.
Sayangnya,
sebelum keinginan itu terwujud, Kiai Kholil sudah meninggal dunia terlebih
dahulu. Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi tersebut
secara resmi berdiri. Dengan nama Nahdhatul Ulama (NU), yang artinya
Kebangkitan Ulama.
Hadlratussyekh
Muhammad Hasyim Asy;ari pendiri NU, mendapat kepercayaan sebagai Rais Akbar
Nahdlatul Ulama. Kelak, jam’iyah Nahdhatul Ulama (NU) ini menjadi organisasi
dengan anggota terbesar di Indonesia, bahkan di Asia.
0 comments:
Posting Komentar